Cipinang
Jumat, 16 Mei 2008
Tanuwijaya peletak dasar "Negeri Bogor" .......

Riesz dalam De Geschiedenis van Buitenzorg (1887) menjelaskan bahwa Tanuwijaya adalah orang Sunda dari Sumedang yang berhasil membentuk "pasukan pekerja" dan mendapat perintah dari Camphuijs untuk membuka hutan Pajajaran sampai akhirnya ia mendirikan Kampung Baru yang menjadi tempat "kelahiran" (de bakermat) Kabupaten Bogor yang didirikan kemudian.

Adapun Tanuwijaya, dalam catatan VOC disebut Luitenant der Javanen (Letnan orang-orang Jawa) dan merupakan Letnan Senior di antara teman-temannya. Kampung Baru yang didirikannya ada di Cipinang (Jatinegara) dan di Bogor. Yang di Bogor mula-mula bernama Parung Angsana. Tetapi ketika Tanuwijaya pindah dari Kampung Baru Cipinang ke sana, ia kemudian memberi nama Kampung Baru. Sekarang bernama Tanah Baru.

Terpengaruh oleh kunjungannya ke bekas Ibukota Pakuan bersama Scipio, ia kemudian ingin mendekatkan diri dengan peninggalan Siliwangi. Kampung-kampung seperti Parakan Panjang, Parung Kujang, Panaragan, Bantar Jati, Sempur, Baranangsiang, Parung Banteng dan Cimahpar adalah kampung-kampung yang didirikan Tanuwijawa bersama pasukannya. Kampung Baru (Parung Angsana) saat itu sudah menjadi semacam "pusat pemerintahan" bagi kampung-kampung yang didirikan secara terpencar oleh anak buahnya.

Tanuwijaya pula yang mengambil inisiatif membuat garis batas antara daerah pemukiman orang-orang Banten dengan orang-orang Kumpeni ketika rakyat Pangeran Purbaya mulai membangun pemukiman pada daerah aliran Cikeas.Sementara, daerah aliran Ciliwung antara Kedung Badak sampai Muara Beres telah ditempati orang-orang Mataram yang tidak mau kembali ke daerah asalnya setelah tercapainya persetujuan antara Mataram dan VOC tahun 1677. Sebagian dari mereka adalah pelarian pasukan Bahurekso, sebagian lagi kelompok resmi yang dikirimkan Sunan Amangkurat I tahun 1661 ke Muara Beres, bekas basis pasukan Rakit Mataram ketika mengepung Benteng Batavia.

Rasa hormat Tanuwijaya terhadap bekas Ibukota Pakuan demikian besar sampai gerakan okupasinya dihentikkan pada sisi utara Ciliwung. Ia tidak berani melintasinya. Juga kepada rekan-rekannya yang berniat melintasi sungai tersebut dianjurkan agar melakukannya jauh di sebelah hulu (Ciawi dan Cisarua).

Almarhum M.A. Salmun pernah menulis dalam Majalah Intisari (salah satu nomor tahun pertama), bahwa yang dimaksud Menak ki Mas Tanu dalam lirik lagu Ayang-Ayang Gung ya Tanuwijaya ini. Benar tidaknya, wallaohualam. Tapi, hampir tiap baris lirik lagu itu dapat diterapkan kepada keadaan Tanuwijaya dalam riwayat hidupnya. Ia memang anak emas Kumpeni dan dibenci rekan-rekannya. Ia ditunjuk Camphuijs menggantikan Letnan Pangirang (orang Bali. Atau Makassar?) untuk membuka daerah selatan.

Di luar itu, rupa-rupanya, kedekatan batin Tanuwijaya dengan Pajajaran telah melonggarkan ketaatannya terhadap Kumpeni. Ia tentu merasakan bagaimana tidak masuk akalnya seorang letnan seperti dirinya harus tunduk kepada seorang sersan seperti Scipio yang kulit putih, padahal ia sendiri menjadi atasan sersan pribumi. Akhirnya "anak emas" Kumpeni ini menjadi sekutu dan pelindung Haji Perwatasari yang bangkit mengangkat senjata terhadap perluasan daerah kekuasaan VOC. Meskipun, ia ditakdirkan jadi pihak yang kalah. Sebagaimana Haji Perwatasari, Tanuwijaya dibuang ke Tanjung Harapan di Afrika.

Orang dulu menyindir Tanuwijaya dengan "lempa lempi lempong, ngadu pipi jeung nu ompong" (mengejar harapan kosong, bermesraan dengan orang tak bergigi). Yang dimaksudkan dengan "orang tak bergigi" di sini adalah Perwatasari yang kalah dalam perjuangan.

Dalam masa penjajahan Belanda, penyusun Babad Bogor (1925), tidak berani mencantumkan nama Tanuwijaya sebagai "bupati pertama". Dalam daftar silsilah biasanya selalu dicantumkan Mentengkara atau Mertakara, kepala Kampung Baru yang ketiga (1706 - 1718), yang menurut De Haan, adalah putera Tanuwijaya. Sebaliknya, para penulis Belanda, lebih leluasa menyebutkan Tanuwijaya sebagai Bupati Kampung Baru pertama dan peletak dasar Kabupaten Bogor.

Pengalaman Tanuwijaya dengan Kumpeni adalah mirip dengan pengalaman Untung Surapari. Akan tetapi, jika benar lirik Ayang-ayang Gung diciptakan untuk menyindir Tanuwijaya, maka kita patut merenungkannya kembali.

Tahun 1745, sembilan distrik -- yaitu Cisarua, Pondok Gede, Ciawi, Ciomas, Cijeruk, Sindangbarang, Balubur, Darmaga dan Kampung Baru -- digabungkan menjadi satu "pemerintahan" di bawah kepala Kampung Baru dan diberi gelar Demang. Gabungan sembilan distrik inilah yang dahulu disebut "Regentschap Kampung Baru" atau "Regentschap Buitenzorg". Atas dasar itulah kedua sungai (Cisadane dan Ciliwung) dalam lambang Kabupaten Bogor masing-masing digambarkan dengan sembilan baris gelombang. Ada benarnya apa yang dikemukakan Riesz, bahwa Kampung Baru (Tanah Baru) adalah "de bakermat" (tempat kelahiran) Kabupaten Bogor.


CIPINANG TERTUA,WUJUD DARI NEGERI BOGOR......

Label:

 
posted by LAMPAH DIRI at 15.08 | Permalink


0 Comments:






~ [ perguruan kekeluargaan lampah diri ] ~