Spirit
Senin, 19 Mei 2008

Banyak dipertanyakan sejak kapan penduduk Betawi (Jakarta) memeluk agama Islam. Apakah proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya baru terjadi sejak Falatihan, panglima Kerajaan Islam Demak menaklukkan Sunda Kelapa pada 22 Juni 1527. Pendapat ini dibantah keras budayawan Betawi, Drs Ridwan Saidi. Menurutnya, proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya sudah terjadi jauh lebih awal. Bahkan, lebih dari 100 tahun sebelum kedatangan balatentara Falatehan yang mengusir orang Barat (Portugis) di Teluk Jakarta (sekitar Pasar Ikan).

Tepatnya pada tahun 1412, yang digerakkan oleh Syekh Kuro, seorang ulama dari Campa (Kamboja). Pada tahun tersebut, ia telah membangun sebuah pesantren di Tanjung Puro, Karawang. Sementara, Siswadi, dalam tulisan mengenai Perkembangan Kota Jakarta, menulis: “Dalam abad ke-14 dan 15 kraton-kraton di Jawa sudah menerima Islam karena alasan politik.” Menurut kitab Sanghyang Saksakhanda, sejak pesisir utara Pulau Jawa –mulai dari Cirebon-Krawang dan Bekasi– terkena pengaruh Islam yang disebarkan orang-orang Pasai, maka tidak sedikit orang-orang Melayu yang masuk Islam.

Pesantren Syekh Kuro mempunyai santri –salah satunya– Nyai Subanglarang, salah seorang istri Prabu Siliwangi. Hal ini menunjukkan bahwa proses Islamisasi tidak hanya terjadi pada kalangan rakyat biasa, juga pada tingkat elite. Menurut legenda, Sang Prabu Siliwangi menolak masuk Islam, ketika diimbau oleh putranya Kian Santang atau Pangeran Cakrabuana. Proses Islamisasi di Jakarta dan sekitarnya di abad ke-14 sampai ke-16 tidak dapat dilakukan tanpa menyebut nama-nama besar seperti Kian Santang. Ia tanpa ragu-ragu mengikuti jejak ibunya, memeluk Islam.

Setelah terjadi proses Islamisasi, Prabu Siliwangi lalu ngahyang atau meng-hyang. Menurut Ridwan Saidi, dari sinilah muncul kata: ‘parahyangan’. Tapi, menurutnya, hingga sekarang masih menjadi pertanyaan besar: Apakah prabu menolak ajakan putranya masuk Islam, atau menerima ajakan itu secara diam-diam?

Kian Santang, cukup berjasa dalam dakwahnya, termasuk di Jakarta dan sekitarnya. Karena itu, sekalipun dia berasal dari Sunda, tapi mendapat tempat di hati orang Betawi. Penguasa Pajajaran, ketika itu menyebut mereka yang masuk Islam sebagai kaum langgara. Berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya orang-orang yang telah berubah atau beralih kepercayaan. Dan tempat shalat mereka disebut langgar. Karena itu, orang Betawi masih menggunakan istilah langgar sebagai padanan dari mushola. Kaum langgara inilah yang disebut samanan. Seperti kita ketahui, di Jakarta Barat maupun Bekasi ada kampung bernama Semanan.

Salah seorang murid Kian Santang, yang juga menjadi penyebar Islam yang handal adalah Pangeran Papak, seorang adipati dari Tanjung Jaya yang kini lokasinya di Tanjung Barat, Jakarta Selatan. Ratunya adalah Kiranawati, yang dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Menurut cerita rakyat, bila Ratu Kiranawati bepergian dengan kereta kuda, ia dilepas dengan mengumandangkan adzan.

Dalam diskusi itu, Ridwan menyebutkan, dalam proses Islamisasi, terdapat tujuh wali Betawi. Antara lain, Pangeran Darmakumala dan Kumpi Datuk yang dimakamkan berdekatan, di tepi kali Ciliwung, dekat Kelapa Dua, Jakarta Timur. Kemudian Habib Sawangan, yang dimakamkan di depan Pesantren Al-Hamidiyah, Depok. Pangeran Papak, dimakamkan di Jl Perintis Kemerdekaan, Jakarta Timur. Wali lainnya, Ki Aling, menurut Ridwan, tidak diketahui makamnya. Ketujuh ‘wali Betawi’ ini, menurutnya, hidup sebelum penyerbuan Fatahilah ke Sunda Kelapa.

Beberapa generasi setelah tujuh wali itu, terdapat Habib Husein Alaydrus yang dimakamkam di Luar Batang, tempat ia membangun masjid pada awal abad ke-18. Kong Jamirun dimakamkan di Marunda, Jakarta Utara. Datuk Biru, makamnya di Rawabangke, Jatinegara. Serta Habib Alqudsi dari Kampung Bandan, Jakarta Utara. Di Mekkah, terdapat Sheikh Junaid Al-Betawi, yang berasal dari Kampung Pekojan, Jakarta Barat. Syekh Junaid, yang kumpi dari Habib Usman bin Yahya, adalah guru dari Syekh Nawawi Al-Bantani, yang mengarang ratusan kitab, tersebar di berbagai negara Islam. Habib Usman, sendiri adalah salah seorang guru dari Habib Ali Alhabsji, pendiri majelis taklim Kwitang, Jakarta Pusat.

Seperti daerah lainnya di Nusantara, Islamisasi di Betawi berlangsung penetration pacifique (penyebaran secara damai).***

Republika, Minggu, 13 Januari 2002.


MENURUT Adolf Heuken SJ

Sejarawan keturunan Jerman, Adolf Heuken SJ, dalam buku Masjid-masjid Tua di Jakarta, menulis tiada masjid di Jakarta sekarang ini yang diketahui sebelum 1640-an. Dia menyebutkan Masjid Al-Anshor di Jl Pengukiran II, Glodok, Jakarta Kota, sebagai masjid tertua yang sampai kini masih berdiri. Masjid ini dibangun oleh orang Moor — artinya pedagang Islam dari Koja (India).

Sejarah juga mencatat pada Mei 1619, ketika VOC menghancurkan Keraton Jayakarta, termasuk sebuah masjid di kawasannya. Letak masjid ini beberapa puluh meter di selatan Hotel Omni Batavia, di antara Jl Kali Besar Barat dan Jl Roa Malaka Utara, Jakarta Kota.

Untuk mengetahui sejak kapan penyebaran Islam di Jakarta, menurut budayawan dan politisi Betawi, Ridwan Saidi,bisa dirunut dari berdirinya Pesantren Quro di Karawang pada tahun 1418. Syekh Quro, atau Syekh Hasanuddin, berasal dari Kamboja. Mula-mula maksud kedatangannya ke
Jawa untuk berdakwah di Jawa Timur, namun ketika singgah di pelabuhan Karawang, Syekh urung meneruskan perjalanannya ke timur. Ia menikah dengan seorang gadis Karawang,dan membangun pesantren di Quro.

Makam Syekh Quro di Karawang sampai kini masih banyak diziarahi orang. Di kemudian hari, seorang santri pesantren itu, yakni Nyai Subang Larang, dipersunting Prabu Siliwangi. Dari perkawinan ini lahirlah Kean Santang yang kelak menjadi penyebar Islam. Banyak warga Betawi yang menjadi pengikutnya.

Menurut Ridwan Saidi, di kalangan penganut agama lokal, mereka yang beragama Islam disebut sebagai kaum langgara, sebagai orang yang melanggar adat istiadat leluhur dan tempat berkumpulnya disebut langgar. Sampai sekarang warga Betawi umumnya menyebut mushala dengan
langgar. Sebagian besar masjid tua yang masih berdiri sekarang ini, seperti diuraikan Heuken, dulunya adalah langgar.

Menelusuri awal penyebaran Islam di Betawi dan sekitarnya (1418-1527), Ridwan menyebutkan sejumlah tokoh penyebarnya, seperti Syekh Quro, Kean Santang, Pangeran Syarif Lubang Buaya, Pangeran Papak, Dato Tanjung Kait, Kumpo Datuk Depok, Dato Tonggara, Dato Ibrahim Condet,
dan Dato Biru Rawabangke.
.. .. ..
Pada awalnya penyebaran Islam di Jakarta mendapat tantangan keras, terutama dari bangsawan Pajajaran dan para resi. Menurut naskah kuno Carios Parahiyangan, penyebaran Islam di bumi Nusa Kalapa (sebutan Jakarta ketika itu) diwarnai dengan 15 peperangan. Peperangan di pihak Islam
dipimpin oleh dato-dato, dan di pihak agama lokal, agama Buwun dan Sunda Wiwitan, dipimpin oleh Prabu Surawisesa, yang bertahta sejak 1521, yang dibantu para resi.

Bentuk perlawanan para resi terhadap Islam ketika itu adalah fisik — melalui peperangan, atau mengadu ilmu. Karena itulah saat itu penyebar Islam umumnya memiliki ‘ilmu’ yang dinamakan elmu penemu jampe pemake. Datodato umumnya menganut tarekat. Karena itulah banyak resi yang akhirnya takluk dan masuk Islam. Ridwan mencontohkan resi Balung Tunggal, yang dimakamkan di Bale
Kambang (Condet, Kramatjati, Jakarta Timur).

Prabu Surawisesa sendiri akhirnya masuk Islam dan menikah dengan Kiranawati. Kiranawati wafat tahun 1579, dimakamkan di Ratu Jaya, Depok. Sesudah masuk Islam, Surawisesa dikenal sebagai Sanghyang. Ia dimakamkan di Sodong, di luar kompleks Jatinegara Kaum. Ajaran tarekat dato-dato kemudian menjadi ‘isi’ aliran maen pukulan syahbandar yang dibangun oleh Wa Item. Wa Item adalah syahbandar pelabuhan Sunda Kalapa yang tewas ketika terjadi penyerbuan oleh pasukan luar yang dipimpin Falatehan (1527).

Selain itu juga ada perlawanan intelektual yang berbasis di Desa Pager Resi Cibinong, dipimpin Buyut Nyai Dawit yang menulis syair perlawanan berjudul Sanghyang Sikshakanda Ng Kareyan (1518). Sementara, di Lemah Abang, Kabupaten Bekasi, terdapat seorang resi yang melakukan
perlawanan terhadap Islam melalui ajaran-ajarannya yang menyimpang. Resi ini menyebut dirinya sebagai Syekh Lemah Abang, atau Syekh Siti Jenar. Tantangan yang demikian berat mendorong tumbuhnya tradisi intelektual Betawi.

Seperti dituturkan Ridwan Saidi, intelektualitas Islam yang bersinar di masyarakat Betawi bermula pada abad ke- 19 dengan tokoh-tokoh Guru Safiyan atau Guru Cit, pelanjut
kakeknya yang mendirikan Langgar Tinggi di Pecenongan, Jakarta Pusat.

Pada pertengahan abad ke-19 hingga abad ke-20 terdapat sejumlah sentra intelektual Islam di Betawi. Seperti sentra Pekojan, Jakarta Barat, yang banyak menghasilkan intelektual Islam. Di sini lahir Syekh Djuned Al-Betawi yang kemudian menjadi mukimin di Mekah. Di sini juga lahir Habib Usman Bin Yahya, yang mengarang puluhan kitab dan pernah menjadi mufti Betawi.
Kemudian, sentra Mester (Jatinegara), dengan tokoh Guru Mujitaba, yang mempunyai istri di Bukit Duri. Karena itulah ia secara teratur pulang ke Betawi. Guru Mujitaba selalu membawa kitab-kitab terbitan Timur Tengah bila ke Betawi. Dia punya hubungan dengan Guru Marzuki Cipinang,
yang melahirkan sejumlah ulama terkemuka, seperti KH Nur Ali, KH Abdullah Syafi’ie, dan KH Tohir Rohili.

Juga, sentra Tanah Abang, yang dipimpin oleh Al-Misri. Salah seorang cucunya adalah Habib Usman, yang mendirikan percetakan 1900. Sebelumnya, Habib Usman hanya menempelkan lembar demi lembar tulisannya pada dinding Masjid Petamburan. Lembaran itu setiap hari digantinya sehingga
selesai sebuah karangan. Jamaah membacanya secara bergiliran di masjid tersebut sambil berdiri.

Label:

 
posted by LAMPAH DIRI at 19.51 | Permalink


0 Comments:






~ [ perguruan kekeluargaan lampah diri ] ~