Kampung Kranggan
Rabu, 21 Mei 2008

Penghormatan Warga Kranggan kepada Bumi dan Langit

cokorda yudistira

Kranggan adalah sebuah perkampungan yang terletak persis di perbatasan antara Kota Bekasi dan Kabupaten Bogor. Meski berada di tengah derasnya laju pembangunan yang berlangsung di Kota Bekasi maupun di Cibubur, Kabupaten Bogor, masyarakat Kampung Kranggan, yang kini termasuk wilayah Kecamatan Jatisampurna, Kota Bekasi, masih lekat dengan kehidupan budaya dan tradisi masa silam.

Di kampung ini masih dapat dijumpai rumah-rumah tradisional yang berbentuk rumah panggung, meskipun sudah banyak yang mulai rusak dimakan usia. Disebut rumah panggung karena bangunan rumah ditopang sejumlah tiang penyangga, dengan jarak antara lantai rumah dan tanah rata-rata sekitar 50 sentimeter.

Keunikan lain rumah tradisional di Kampung Kranggan adalah terletak pada bentuk atap rumah yang bervariasi dan fungsi masing-masing ruangan di dalam rumah tersebut.

Sedikitnya ada tiga bentuk atap rumah panggung yang kini masih tersisa di Kampung Kranggan, yakni atap model limas, model jure, dan model julang ngapak. Atap model limas dan jure sepintas mirip, namun atap model limas tidak memiliki ampig, atau penutup bagian depan dan belakang yang terbuat dari anyaman bambu. Atap model julang ngapak berbentuk seperti atap rumah joglo, dengan bagian puncak meruncing.

Rumah panggung ini punya tiga ruangan inti, yaitu ruang tengah berbentuk los, sebuah kamar tidur, dan ruangan belakang digunakan tempat penyimpanan benda pusaka atau padi yang disebut pangkeng atau pandaringan. Selain ketiga ruang itu, rumah panggung dilengkapi balai tambahan, atau paseban, yang berfungsi sebagai tempat bersantai atau menerima tamu.

Di masa silam, pemilik rumah menyediakan gentong berisi air bersih dan gayung di balai paseban rumahnya. Para pengelana yang kehausan dapat menciduk air dan beristirahat di balai paseban itu tanpa harus mengganggu pemilik rumah. Tradisi menyiapkan gentong air dan gayung itu sudah hilang, namun pengelana tidak perlu khawatir kehausan, karena di sepanjang jalan alternatif menuju Cibubur ini sudah banyak berdiri warung makanan dan minuman.

Upacara

Masyarakat Kampung Kranggan sampai saat ini masih taat menjaga dan menghidupkan tradisi leluhur mereka. Nutur galur mapai asal, menjaga kelestarian budaya leluhur, demikian pedoman hidup yang dipegang teguh masyarakat asli kampung ini.

Salah satu tradisi yang dilangsungkan secara periodik oleh warga Kampung Kranggan adalah babarit, sebuah prosesi upacara syukuran dan penghormatan kepada leluhur, langit dan bumi, serta sang pencipta. Prosesi ini sarat nuansa budaya Sunda, baik dari bentuk sesajian, atau sesajen, tata upacara, dan doa yang dilantunkan pemimpin upacara ini.

Upacara babarit atau disebut pula salametan bumi ini digelar setiap tahun menyambut datangnya Tahun Baru Saka, Mapag Taun Baru Saka, dan berlangsung selama sebulan penuh. Puncak acaranya adalah mengarak kerbau putih keliling kampung.

"Ini adalah bentuk ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga Kampung Kranggan kepada Yang Maha Kuasa karena kami diberikan berkah dan keselamatan," ujar Suta Tjamin, salah seorang tokoh masyarakat Kranggan dalam perbincangan dengan Kompas, Selasa (20/6).

Dalam salah satu rangkaian upacara babarit, warga Kampung Kranggan berkumpul dan menggelar tikar dan terpal di jalanan. Sebuah ancak, yakni alas dari jalinan bambu berukuran 1,5 m x 1,5 m berisikan sesajen berupa buah-buahan dan hasil bumi lainnya, kue, ikan, daging, serta nasi lima warna dan janur, diletakkan di tengah jalan. Sesajen lainnya ditempatkan di sejumlah baskom.

Upacara ini dipimpin sesepuh desa yang dikenal sebagai Bapak Kolot. Pemuka desa ini biasanya duduk menyendiri di ujung barisan. Sebuah tempat pembakaran kemenyan, atau disebut parupuyan, dan sesajian diletakkan di hadapannya. Sebelum acara doa bersama dimulai, Bapak Kolot membakar kemenyan di pedupaan dan membacakan doa- doa dalam bahasa Sunda.

Upacara dilanjutkan dengan penyampaian maksud dan tujuan acara serta siapa-siapa tokoh warga yang dihadirkan. Disusul dengan penyampaian secara ringkas tentang sejarah dan tradisi di Kranggan serta ucapan terima kasih dan permohonan kepada Tuhan agar warga Kampung Kranggan dan seluruh masyarakat di Indonesia diberikan keselamatan dan berkah.

Sekilas disebutkan, leluhur warga Kampung Kranggan ini adalah keturunan Prabu Siliwangi, Raja Pajajaran dari tanah Sunda (Nusa Kalapa), yang mengungsi ke wilayah tengah, yang kini meliputi wilayah Bogor, Bekasi, Cirebon, dan Banten. Kampung Kranggan ini diperkirakan mulai dibangun sekitar abad ke-15 atau abad ke-16 Masehi, dan pemuka desa, Bapak Kolot Kampung Kranggan, saat ini merupakan keturunan yang ke-9 dari pendiri desa.

Selesai didoakan, sebagian sesajian di atas ancak kemudian digantung di pohon dan sebagian sesajian lainnya ditanam di tiga lubang yang sudah disiapkan di tepi ujung persimpangan jalan. Bapak Kolot Kisan, sesepuh warga Kampung Kranggan, mengatakan, upacara salametan bumi bukan semata-mata ditujukan bagi kepentingan warga Kampung Kranggan, namun untuk keselamatan dan kesejahteraan Indonesia.

Budayawan Betawi Ridwan Saidi mengungkapkan, tradisi dan budaya yang hidup dan dipertahankan warga Kampung Kranggan adalah akar dari tradisi dan budaya Betawi saat ini. Warga asli Kampung Kranggan diyakini merupakan sebagian penduduk asli Jakarta yang leluhur mereka tersingkir ke pedalaman akibat penyerbuan Fatahillah ke gerbang utama Jayakarta, Pelabuhan Kalapa.

"Bagi kami, orang Betawi, tentu sangat berkepentingan untuk mengetahui sejarah. Betawi kini mengalami krisis identitas," ungkap Ridwan dalam perbincangannya dengan Kompas.

"Tradisi yang dipertahankan masyarakat Kranggan menunjukkan bahwa budaya Betawi sangat plural. Karena itu, orang Betawi di Kota Jakarta sekarang ini seharusnya menghormati pluralisme," ujarnya.

Teropong - KOMPAS

Label:

 
posted by LAMPAH DIRI at 16.23 | Permalink


0 Comments:






~ [ perguruan kekeluargaan lampah diri ] ~