Sufisme Beawi
Selasa, 20 Mei 2008

Rakhmad Zailani Kiki
Staf Divisi Pengkajian CC-JIC

Sejarah dan perkembangan Islam di tanah Betawi tidak terlepas dari aspek sufismenya. Bahkan dapat dikatakan, beberapa ajaran sufistik telah membentuk beberapa watak orang Betawi, seperti humoris: orang Betawi dalam mengatasi persoalan kehidupan sepelik apapun dilakukan dengan santai dan jenaka; menjalani hidup sehari-hari seakan tanpa beban. Suatu watak yang sejalan dengan ajaran kaum sufi bahwa kehidupan dunia hanya sendau gurau belaka (mataul gurur).

Asal keberadaan sufisme di tanah Betawi dari kajian sejarah sementara ini, dapat ditelusuri dari sosok Habib Husein Bin Abubakar Alaydrus (biasa disebut dengan Habib Husien Luar Batang) sebagai salah satu tokohnya yang terkenal. Habib Husien berasal dari daerah Al-Maiqab Hadramaut, yang kini berada di wilayah Yaman Selatan. Ia tiba di tanah Betawi dan bermukim di Sunda Kelapa pada tahun 1736 dan wafat pada hari Kamis, 27 Ramadhan 1169 Hijriyah , bertepatan dengan tanggal 24 Juni 1756. Semasa hidup, beliau aktif berdakwah dengan membuka pengajian di tempat tinggalnya. Lambat laun karena jama`ah pengajiannya bertambah banyak, ia mendirikan sebuah masjid yang kemudian dikenal dengan nama masjid Kramat Luar Batang. Banyak kisah-kisah yang menunjukan kekaromahan beliau baik semasa hidup maupun pada saat wafatnya, namun belum diketahui mengenai tariqat (aliran sufi) yang beliau anut.

Pada perkembangannya kemudian, sufisme di tanah Betawi penulis bagi ke dalam dua fase, yaitu fase penerimaan dan fase orisinalitas.

Fase penerimaan
Pada fase penerimaan, orang Betawi hanya "menerima" sufisme melalui pengajaran dari berbagai tarekat atau aliran sufi yang banyak datang dan tumbuh subur di Tanah Betawi. Salah satunya adalah tarekat Idrisiah, tarekat yang banyak dianut oleh orang Betawi, selain Syatariyah , Naqsyabandiyah, dan lainnya.

Tarekat ini, pertama kali dibawa ke Indonesia oleh Kyai Abdul Fattah (1884-1947). Beliau adalah seorang ulama kelahiran Cidahu, Tasikmalaya yang menerima ijazah tarekat Idrisiah dari Ahmad asy-Syarif as-Sanusi di kota Makkah. Di Indonesia, beliau memilih Tasikmalaya sebagai pusat dari tarekatnya tersebut.. Kemudian beliau mengembangkan tariqat ini di tanah Betawi, ketika menetap di kawasan Batu Tulis, Jakarta Pusat. Salah seorang ulama terkenal Betawi yang menjadi muridnya adalah mu`allim KH M Syafi`i Hadzami.

Fase orisinalitas
Pada fase ini, sufisme muncul dan berkembang secara "orisinil", dalam pengertian ajarannya disusun, dipimpin dan dimunculkan oleh seorang putra Betawi asli, yaitu KH. Abdurrohim Radjiun. Inilah fase terpenting dalam sejarah dan perkembangan sufisme di tanah Betawi, dimana sufisme muncul secara asli dari diri seorang putra Betawi.

Nama lengkap beserta gelarnya adalah Prof Dr KH Abdurrohim Radjiun Bin Muhammad Radjiun yang lahir di Betawi pada tanggal 12 Mei 1955. Beliau adalah putra dari mu`allim Radjiun, seorang kiai Betawi terkemuka yang seangkatan dan memiliki persahabatan akrab dengan KH Noer Ali, Bekasi, KH Abdullah Syafi`i (pendiri pergururuan Asy-Syafi`iyyah) dan KH Thahir Rohili (pendiri perguruan Ath-Thahiriyah). Jika ditelusuri garis keturunan dari pihak bapak, beliau masih memiliki kekerabatan dengan Habib Husien Luar Batang karena kumpi-nya (dari bahasa Betawi yang artinya kakeknya kakek), yaitu Abdul Halim dikuburkan satu kompleks dengan keluarga Habib Husien yang ada di Masjid Kramat Luar Batang.

Pada masa mudanya, Abdurrohim Radjiun pernah menjadi wartawan di Media Indonesia di akhir tahun 1970-an. Pernah pula menjadi khatib tetap di Istana Negara sebelum kemudian memutuskan keluar dari aktivitas keagamaan formal untuk total mengembangkan ajaran sufismenya ke tengah-tengah masyarakat.

Beliau tidak menyebut sufismenya sebagai sebuah tarekat, tetapi sebagai sebuah jamaah shalawat yang dinamainya dengan Istirhami (kelompok yang selalu meminta rahmat Allah). Jamaah Isitrhami mengamalkan bacaan shalawat yang disebut shalawat al-istirham yang beliau susun sendiri. Inti ajaran sufismenya adalah menyebarkan rahmat Allah SWT kepada semua makhluk sambil terus menerus bersyukur atas segala yang diberikan oleh Allah SWT.

Beliau, yang oleh pengikutnya biasa dipanggil dengan sebutan Abie Bismillah, menyusun sebuah kitab yang dinamai mirats dan turats. Mirats merupakan kumpulan 99 hadis qudsi, yang menurutnya hadis-hadis tersebut memuat 99 rahasia cinta kasih Allah. Sedangkan Turats berisi rekaman perjalanan beliau dengan sahabat-sahabatnya dan tentang petuah-petuah beliau yang menjadi ajaran. Murid-murid dan ajarannya tidak hanya tersebar di tanah Betawi saja, bahkan sampai ke Timur Tengah, Malaysia, Brunie Darussalam, Australia, Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko.

Dari fase terakhir ini, dapat dikatakan bahwa sufisme di Betawi yang dimotori oleh KH Abdurrohim Radjiun dengan Istirham-nya telah menjadi bagian terpenting bagi sejarah dan perkembangan keislaman etnis Betawi, baik kini dan esok. Hal ini juga merupakan pertanda optimisme bagi masyarakat dan tokoh-tokoh Betawi bahwa ke depan akan tetap muncul generasi-generasi Betawi yang mumpuni di bidang ke-Islaman dan menjadi kebanggaan etnis Betawi serta bermanfaat bagi masyarakat luas.

Wallahu `alam bishawab.


n( tri )

Label:

 
posted by LAMPAH DIRI at 16.24 | Permalink


0 Comments:






~ [ perguruan kekeluargaan lampah diri ] ~